“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo” sebuah istilah yang amat familiar di ebuah istilah yang amat familiar di telinga sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana ? Amat beragam jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rezeki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.
Kepada siapa meminta ? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali. Namun ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh عزوجل , tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.=
Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat !
SHALAT DI KUBURAN
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian Ulama mengkategorikannya dosa besar.2 Praktek ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah agama kita melarang praktek tersebut. Amat banyak nash dari Nabi ﷺ yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya :
1. Sabda beliau ﷺ :
لَا تَجْلِسُوْا عَلَى القُبُوْرِ وَلَا تُصَلُّوْا إِلَيْهَا
Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. (HR. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad رضي الله عنه )
Imam Nawawi رحمه الله (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi ’i رحمه الله mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dij adikan masjid. Khawatir mengakibatkan fi tnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”3
al-‘Allâmah al-Munawi رحمه الله (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi ﷺ melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain beliau ﷺ . Sebab bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.”4
Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi ﷺ di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram. Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’ani رحمه الله (w. 1182 H).5
2. Sabda Nabi ﷺ :
اِجْعَلُوْا فِيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَخِذُوهَا قُبُوْرًا
Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. (HR. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar رضي الله عنهما)
Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.
Imam al-Baghawi رحمه الله (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat.”6
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batt hal رحمه الله (w. 449 H)7 dan Ibn Rajab رحمه الله (w. 795 H).8
Ibnu Hajar al-‘Asqalani رحمه الله (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata beliaut, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.”9
3. Sabda Rasûlullâh ﷺ :
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi. (HR. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id z. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim10, Ibnu Taimiyyah رحمه الله 11 dan al-Albâni رحمه الله . 12
Imam Ibnu Qudâmah رحمه الله (w. 620 H) menjelaskan bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan. 13
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi رحمه الله 14 dan al-Hâfi zh al-‘Iraqi رحمه الله (w. 806 H) 15.
4. Doa Rasûlullâh ﷺ :
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ، اِشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah. Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid 16
Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi ﷺ merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka Nabi ﷺ bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh عزوجل sangat murka atas orang yang melakukan hal itu.
Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan para sahabat dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu. Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana praktek para pemuja berhala terhadap berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar!”17
5. Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabi ﷺ :
قَاتَلَ اللَّهُ اليَهُوْدَ؛ اِتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. (HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah رضي الله عنه )
Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله menuturkan bahwa hadits di atas mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh عزوجل . Hadits ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini, maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.”18
Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin رحمه الله (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan. Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).”19
HIKMAH DI BALIK TERLARANGNYA SHALAT DI KUBURAN
Para ulama Islam sepakat bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.20 Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut.21
Sebagian ulama memandang bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia. Ada juga Ulama lain yang berpendapat bahwa sebabnya adalah karena khawatir umat ini akan terjerumus ke dalam perbuatan syirik.
Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram (w. 273)22, al-Mawardi (w. 450 H)23, Ibn Qudamah24 , Ibn Taimiyyah (w. 728 H)25, as-Suyuthi (w. 911 H)26 dan yang lainnya.
Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindak menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as- Suyuthi memperjelas, “Inilah sebab mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau di bawahnya.
Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang shalih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Bentuk peribadahan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh, maksudnya adalah masjid!
Inilah mafsadah (keburukan) yang dicegah oleh Nabi ﷺ dari sumbernya. Hingga beliau ﷺ melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu atau celah yang berpotensi menghantarkan kepada kerusakan yang bisa memicu peribadatan kepada berhala.” .27
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nas. Imam Ibnul Qayyim رحمه الله (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau رحمه الله paparkan :
1. Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.
2. Tempat masjid Nabi ﷺ dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau ﷺ memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.
3. Nabi ﷺ melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh عزوجل melarang bumi untuk memakan jasad mereka.28
HUKUM ORANG SHALAT DI KUBURAN
Kalau kita lihat faktanya, orang-orang yang shalat di area kuburan itu memiliki tujuan beragam. Berdasarkan ini, maka hukum bagi masing-masing pelaku juga berbeda berdasarkan niatnya.
Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk sahibul kubur.
Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar; karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh ta’ala.
Allâh ta’ala menegaskan,
وَّاَنَّ الْمَسٰجِدَ لِلّٰهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللّٰهِ اَحَدًاۖ
Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh. Maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh”. (QS. al-Jinn/72:18)
Kedua: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan bertabaruk (memohon berkah) dengan tempat kuburan tertentu. Perbuatan seperti ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh عزوجل dan Rasul-Nya ﷺ , baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak. Karena itu termasuk mengada-adakan suatu yang baru dalam praktek beribadah.
As-Suyuthi رحمه الله menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan doanya terkabul di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya ﷺ . (Dan ini ) menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah yang tidak dizinkan oleh Allâh عزوجل dalam agama, juga Rasul-Nya ﷺ maupun para imam kaum Muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.29
Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H)30 , al-Munawi31 dan ar-Rumi (w. 1043 H)32 juga menyampaikan keterangan senada.
Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan bertabarruk (ngalap berkah darinya) atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh عزوجل .
Tentang yang ketiga ini, para Ulama berbeda pendapat.33 Namun yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi ﷺ bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibn al-Mundzir (w. 319 H).34
Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه berikut menunjukkan bolehnya hal itu:
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسَاجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ فَسَأَلَ عَنْهَا أَو عَنْهُ، فَقَالُوْا : ” مات”. قَالَ: “أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟”. قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَو أَمْرَهُ. فَقَالَ: ” دُلُّنِيْ عَلَى قَبْرِهِّ”. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: “إنَّ هَذِهِ القُبُوْرَ مَمْلُوْءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ”.
“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasulullah ﷺ kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya. “Dia sudah meninggal” jawab para Sahabat. “Mengapa kalian tidak memberitahuku?”. Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut. Beliau berkata, “Tunjukkan padaku di mana kuburannya?”. Setelah ditunjukkan, beliau ﷺ shalat atasnya, lalu bersabda, “Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka”. HR. Bukhari (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim.
Footnote:
1. Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-’Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ (hal. 974-99
2. Lihat: Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitami (I/148).
3. Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
4. Faidh al-Qadîr (VI/318).
5. Lihat: Subul as-Salâm (I/403).
6. Syarh as-Sunnah (II/411).
7. Lihat: Syarh Shahih al-Bukhary (II/86).
8. Lihat: Fath al-Bary karya Ibn Rajab (III/232).
9. Fathul Bâri karya beliau (I/528).
10. Al-Mustadrak (I/251).
11. Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/189).
12. Irwâ’ al-Ghalîl (I/320).
13. Lihat: Al-Mughni (II/472).
14. Cermati: Syarah Shahîh Muslim (V/5).
15. Sebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidh al-Qadîr (III/349).
16. HR. Malik dalam al-Muwatt ha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar rahimahullah. Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf al-Astâr) al-Bazzar menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’. Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya dari jalan al[1]Bazzar. Syaikh al-Albani رحمه الله menyatakan hadits ini sahih dalam Tahdzîr as-Sâjid (hal. 25 no. 11) dan Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 217).
17. At-Tamhîd (V/45).
18. At-Tamhîd (VI/383).
19. Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdah al-Ahkâm (IV/502).
20. Cermati: Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488).
21. Lihat: Al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Radd al-Muhtâr karya Ibn ‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190).
22. Sebagaimana dinukil Ibn al-Qayyim رحمه الله dalam Ighâtsah al-Lahfân (I/357).
23. Periksa: Al-Hâwi al-Kabîr (III/60).
24. Cermati: Al-Mughni (II/473-474 dan III/441).
25. Lihat: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190-191).
26. Baca: Al-Amr bi al-Itt ibâ’ (hal. 136-139).
27. Al-Amr bi al-Itt ibâ’ (hal. 136-139).
28. Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain, bisa dibaca di Mujânabah Ahl ats-Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa ‘inda al-Qubûr karya Abdul Aziz ar-Rajihi (hal. 28-30).
29. Al-Amr bi al-Itt ibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
30. Cermati: Az-Zawâjir (I/148).
31. Periksa: Faidh al-Qadîr (VI/407).
32. Lihat: Majâlis al-Abrâr (hal. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana dalam Juhûd ‘Ulamâ’ al-Hanafi yyah fî Ibthâl ‘Aqâ’id al-Quburiyyah karya Syamsuddin al-Afghani (III/1593-1594).
33. Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab Hanafi : Al-Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushili (I/97), Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380), Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasani (I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-Sarkhasi (I/206-207). Madzhab Maliki: Al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn Rusyd (I/182) dan Mawâhib al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi ’i: Al-Umm karya Imam Syafi ’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazi (I/215-216) dan al-Majmû’ karya an-Nawawi (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughni karya Ibn Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawi (I/489) dan ar-Raudh al-Murbi’ karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri: Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33).
34. Cermati: Al-Ausath (V/185).
Majalah As-Sunnah